Minggu, 01 Maret 2009

TEKTONIK SUMATRA

Model Tektonik Kuarter Sumatra
Peristiwa tumbukan dua lempeng Kuarter di Indonesia bagian barat menghasilkan sejumlah unsur struktur (lingkungan tektonik) seperti palung Sumatra-Jawa, busur laur non vulkanik, cekungan muka busur, busur volkanik, cekungan busur-belakang dan kraton. Untuk Indonesia bagian barat, Katili, 1973 telah menyusun sebuah model tektonik lempeng mengikuti Hamilton (1970) dan Dickinson (1971), seperti yang nampak pada gambar 2.1.

Palung Sumatra-Jawa (Sumatra-Java Trench)
Gerak lempeng Samudra India-Australia ke arah utara-timurlaut dihambat oleh lempeng Eurasia yang posisinya di barat Sumatra berarah baratlaut-tenggara. Peristiwa ini mengakibatkan terjadinya tumbukan menyerong (miring/oblique) dan membentuk parit Sunda yang membentang sekitar 5000 km mulai dari Birma hingga Indonesia bagian Timur (Hamilton, 1979; Beaudry & Moore, 1985). 
 Tumbukan menyerong selain menghasilkan trench, busur vulkanik dan sejumlah cekungan lainnya, juga menghasilkan sistem sesar mendatar dekstral di Sumatra dan sekitarnya. Sesar Sumatra dan Sesar Mentawai adalah dua sesar regional yang mempengaruhi tektonik sumatra selanjutnya. Sesar Mentawai yang terletak relatif sejajar dan posisinya berada di sebelah barat sesar Sumatra.
 Gaya yang ditimbulkan oleh tumbukan lempeng Eurasia dan India-Australia membentuk sudut 62 terhadap palung Sunda (Moore, G.F, drr, 1980). Gaya tersebut selanjutnya diuraikan di beberapa tempat yang selanjutnya mengontrol pola struktur di Sumatra dan sekitarnya. Sistem sesar anjak di prisma akresi (Pulau Nias, Simeulue dan Siberut) adalah contoh penguraian gaya yang tegak lurus terhadap Parit Sunda. 
Sistem palung-busur Kuarter Jawa-Sumatra yang terbentuk oleh penujaman kerak samudera ke bawah kerak benua. Di sini kerak benua tipis saja, mengingat sebagian hanya terdiri dari busur volcano-pluton Tersier. Menyamping, ke arah benua, kandungan kalium batuan gunungapi berangsur-angsur meningkat. Hal itu terlihat nyata di P. Jawa (Hatherton & Dickinson, 1969) dengan jalur Benioff-nya paling dalam sekitar 700 km. Di timur Pulau Timor, palungnya menunjukkan sifat yang berbeda ketimbang di barat. Batuan magma di sini yang ada di atas lajur Benioff bersusun menengah dan mafik. Kerak di bawah busur itu tipis dan muda, dan di kedua sisinya terdapat kerak samudera (Hamilton, 1970).
Selanjutnya diungkapkan pula bahwa dari hasil rekaman seismik, batimetri, anomali gravitasi dan data sonar, diketahui bahwa pada kedalaman 2300 meter di bawah laut di selatan Jawa ditemukan gunungapi bawah laut dimana litologinya diperkirakan lava-lumpur (mud volacano) dengan ketinggian 500 hingga 600 meter. Di kawah mud volcanous tersebut dijumpai gas metana dan hidrogensulfida yang merupakan sumber energi bagi metabolisme hewan .
Tepat di utara gunung bawah laut tersebut terdapat suatu kelurusan atau gawir berarah barat-timur dengan ketinggian hingga 15 meter. Jalur kelurusan ini memotong struktur yang lebih tua dan berakhir di bawah lapisan sedimen tebal di Palung Jawa. Kelurusan tersebut diduga merupakan kelanjutan dari Sesar Sumatra dan akibat adanya sesar Sumatra ini, di beberapa daerah terbentuk sistem tegasan ekstensional yang selanjutnya diikuti oleh adanya aktifitas gunungapi. Gunung Krakatau merupakan salah satu fenomena gunungapi bawah laut yang pembentukannya berasosiasi dengan jalur sesar di Selat Sunda.

Busur Luar Non Vulkanik (outer arc ridge atau arc trench gap)
 Busur luar luar non-volkanik adalah tinggian yang terbentuk akibat adanya pengangkatan. Terangkatnya batuan ke atas terjadi dengan mekanisme sesar naik sehingga batuan yang terangkat mengalami proses pelipatan dan pensesaran, bahkan dibeberapa tempat hancur tak teruraikan.
 Batuan umumnya batuan sedimen pelagik, batuan beku dan batuan metamorf yang tergerus kuat, seperti yang dapat diamati di rangkaian pulau kecil di sebelah barat Sumatra, seperti Nias, Siberus dan Mentawai.
 Busur luar non-volaknik atau dinamakan juga sebagai arc trench gap dapat muncul di permukaan sebagai pulau seperti di Sumatra dan dapat pula tidak berbentuk pulau seperti di selatan Jawa.

Cekungan Muka Busur (fore arc basin)
 Cekungan muka busur terletak di antara Busur Luar Non-volkanik dengan Jalur bergunungapi. Di Sumatra, cekungan jenis ini dibatasi oleh tinggian basement yang pembentukannya dikontrol oleh sesar-sesar mendatar yang merencong. Isi cekungan berupa batuan sedimen yang berasal dari hasil rombakan batuan dari daratan Sumatra dan pulau kecil di barat Sumatra.

Busur Gunungapi (vulkanik/plutonik arc)
 Jalur gunungapi terletak di inti pulau Sumatra memanjang dari ujung utara sumatra hingga ke selatan, yang selanjutnya di kenala sebagai “Bukit Barisan”. Jalur gunungapi ini terbentuk akibat adanya pembumbungan material dalam bumi yang tepatnya berada di atas jalur Benioff. Mengingat ketebalan lempeng kontinen di wilayah ini relatif tipis maka komposisi maerial vulkanik/plutoniknya berkomposisi asan hingga menengah.
 Bukit Barisan mengalami aktifitas tektonik pengangkatan yang aktif pada Kala Miosen, dimana pada saat itu sudut interaksi Lempeng Hindia-Australia dan Eurasia semakin besar. Di dalam rangkaian gunungapi ini dijumpai beberapa deperesi berupa daerah pedataran yang dikenal sebagai “Cekungan antar pegunungan” (Intra mountain basin).
 

Cekungan Belakang Busur (back arc basin / fore land basin)
 Cekungan Belakang busur terletak di bagian timur jalur bergunungapi hingga berbatasan dengan kraton. Cekungan sedimen ini dapat menghasilkan endapan yang tebal mengingat dimensi cekungannya yang luas dibandingkan dengan jenis cekungan sedimen lainnya.
 Pada saat ini, posisi cekungan sedimentasi menempati Selat Malaka, Peraian Riau hingga bergabung dengan Laut Jawa.

Sistem Sesar Sumatra
 Tumbukan menyerong selain menghasilkan trench, busur vulkanik dan sejumlah cekungan lainnya, juga menghasilkan sistem sesar mendatar dekstral di Sumatra dan sekitarnya. Sesar Sumatra dan Sesar Mentawai adalah dua sesar regional yang mempengaruhi tektonik sumatra selanjutnya. Sesar Mentawai yang terletak relatif sejajar dan posisinya berada di sebelah barat sesar Sumatra.
 Gaya yang ditimbulkan oleh tumbukan lempeng Eurasia dan India-Australia membentuk sudut 62 terhadap palung Sunda (Moore, G.F, drr, 1980). Gaya tersebut selanjutnya diuraikan di beberapa tempat yang selanjutnya mengontrol pola struktur di Sumatra dan sekitarnya. Sistem sesar anjak di prisma akresi (Pulau Nias, Simeulue dan Siberut) adalah contoh penguraian gaya yang tegak lurus terhadap Parit Sunda selanjutnya gaya yang sejajar Parit Sunda memicu terbentuknya Sesar Sumatra dan Mentawai yang posisinya relatif sejajar dengan parit tersebut. Bemmelen (1949), menamakan sesar Sumatra sebagai “Semangko Fault Zone” sedangkan Katili dan Hehuwat (1967), menamakannya sebagai “The great Sumatra Fault Zone”.
Sesar Sumatra merupakan gelala tektonik utama yang bersifat regional, membujur sepanjang 1650 km dari Aceh sampal ke teluk Semangko di ujung selatan P.Sumatra. Pergeseran total dari sesar ini diperkirakan paling sedikit mencapal 26 Km (Katili dan Hehuwat, 1967). Sesar Semangko ini masih aktip sampai sekarang, yang ditunjukkan oleh jalur gempa dangkal sepenjang jalur sistem yang sering menimbulkan kerusakan2 selama sejarah ( Gempa yang terjadi di Padangpanjang pada tahun 1926,1946 dan 1983; gempa di Liwa dan di Tarutung, dll ).
Tjia (1970) dapat mengenal sejumlah bentuk-bentuk amblesan sepanjang sesar Semangko. Para peneliti semula menafsirkan bentuk-bentuk amblesan ini sebagai akibat regangan yang terjadi pada bagian puncak "geantiklin" dan membentuk sesar-sesar bongkah (van Bemmelen, 1949; Katili dan Hehuwat, 1967). 
Bemmelen (1949), menafsirkan pernbentukan amblesan ini, seperti halnya Cekungan Ombilin, terjadi pada jaman Eosen. Sedangkan Katili dan Hehuwat (1967) memperkirakan Kapur Tengah hingga Awal Tersier dan setelah itu disusul oleh gerak mendatar.
Pemikiran-pemikiran yang ada sekarang (Davies, 1987 dan Koning, 1985), menganggap bahwa bentuk-bentuk struktur amblesan itu adalah sebagai struktur penyerta daripada gerak mendatar sesar Semangko, yaitu tipe "pull apart basin". Bentuk struktur separti ini dapat disamakan dengan pambentukan "Death Valley" dl California, A.S. (Ob.4-18). Ciri-ciri sebagai “pull-aparl basin” dapal dilihat dari:
 Sesar Sumatra merupakan sesar mendatar dekstral, membentang sepanjang 1650 km, merupakan batas antar lempeng (lempeng Asia Tenggara dengan lempeng Mikro Sumatra), berarah baratlaut-tenggara, relatif sejajar dengan palung Jawa-Sumatra, berimpit dengan jalur vulkanik aktif (rengkaian gunungapi Bukitbarisan), menghubungkan dua daerah regangan yaitu Cekungan Belakang Busur Laut Andaman dan Cekungan ekstensional Selat Sunda. Sesuatu yang menarik di Selat Sunda adalah tidak ditemukannya fore arc basin.
 Tjia (1977), menyatakan bahwa Sesar Sumatra terdiri atas beberapa segmen yang masing-masing relatif saling sejajar dan dibeberapa tempat saling overlaping. Pola struktur Sumatra dibeberapa tempat membentuk pola en-echelon sehingga di daerah tertentu pola tektonik yang berkembang didominasi oleh sistem tegasan kompresi dan dibagian lain dipengaruhi tegasan ekstensional.
 Sistem sesar Sumatra dibeberapa segmen membentuk daerah kompresional yang dicirikan dengan berkembangnya struktur lipatan dan sesar naik. Disamping sistem regangan, sesar besar ini membentuk daerah regangan atau ekstensional yang menghasilkan topografi cekungan yang batas-batasnya dikontrol oleh bidang sesar sebagai rangkaian graben (Bemmelen, 1949; Westerveld, 1954). Contoh lokasi depresi yang berasosiasi dengan sistem sesar Sumatra (Gambar 2-6), antara lain : Deporesi Aceh, Tangse, Alas, Angkola-Gadis, Sempur-Rokan Kiri, Singkarak dan Solok, Muara Labuh, Kerinci, Ketahun, Kapahiang-Makakau dan Semangko (Katili dan Hehuwat, 1967).
 Sesar Sumatra mulai terbentuk di Sumatra Tengah sejak Kapur Tengah (Hehuwat, 1967) dengan gerak relatif vertikal selanjutnya pada Plistosen Bawah gerak sesarnya disertai oleh gerak mendatar dekstral. Tjia (1970) menyatakan bahwa pergeseran menganan sesar Sumatra mulai terjadi pada kala Pliosen Bawah sedangkan Bahar (1982, dalam Hery Harjono, 1998) menyatakan bahwa di daerah Sumatra Barat (Padang) sesar Sumatra bergeser normal (dominan) dengan komponen strike slip menganan yang mulai berlangsung sejak Kapur dan Pliosen) dan prosesnya diikuti oleh tektonik regangan yang disertai aktivitas vulkanisma.
 Jalur sesar sumatra tidak hanya terbentuk di daratan tapi juga berlanjut ke daerah perairan Selat Sunda. Tanda-tanda jalur sesar Sumatra pada awalnya tidak diketahui kelanjutannya, seperti yang pernah dinyatakan oleh para geologiwan dari berbagai negara, antara lain German, Perancis, Amerika. Namun ketika ekspedisi lanjutan yang diberi nama “Indonesia-Japan Deep Sea Expedition Java Trench 2002”, dilakukan oleh ilmuwan Jepang dan Indonesia (BPPT) dalam ekspedisinya menggunakan kapal selam “Yokusuka-Shinkai”. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa sesar Sumatra menerus ke arah tenggara, yaitu ke wilayah selat Sunda dan berlanjut hingga ke selatan Pelabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat dan akhirnya mencapai palung Jawa. Penerusan sesar Sumatra ke arah tenggara ini dinamakan sebagai sesar Sumatra segmen Panaitan.



Perkembangan Sesar Sumatra dapat dikenali mulai dari Eosen hingga Resent, yaitu :
Fase Tektonik Kapur Atas :
Kegiatan tektonik ini ditandai oleh aktifitas magmatik dan orogen sebagai akibat adanya tumbukan lempeng Eurasia dan Lempeng Hindia-Australia. Puncak kegiatan tektonik ini ini tercermin oleh terbentuknya Pegunungan Barisan yang disertai oleh aktifitas vulkanisma.

Fase Tektonik Eosen-Oligosen Awal :
Pada jaman Eosen, lempeng Hindia Australia bergerak ke arah utara dengan kecepatan mencapai 18 cm/th. Menjelang Oligosen kecepatan berkurang menjadi 3 cm/th dan bergerak rotasi ke arah timur. Peristiwa ini mengakibatkan terjadinya aktifitas regangan (pola rekahan) dimulai dari daerah Sumatra Selatan dan kemudian berlanjut ke arah utara (Davies, 1987). Pada gerak sesar mendatar yang saling berpasangan dan berjenjang (sesar menangga) akan membentuk cekungan tarikan (pull aprt basin).

Fase Tektonik Oligosen Akhir – Miosen Bawah :
Pada saat ini, terjadi rotasi dari lempeng mikro Sunda sebesar 20 berlawanan arah jarum jam yang menyebabkan Sumatra mulai menjauh dari Semenanjung Malaya. Proses tektonik pada waktu ini belum menghasilkan tegasan kompresi yang berarti.
Fase Tektonik Miosen Tengah : 
Terjadi pengaktifkan kembali sesar-sesar, bersamaan dengan berhentinya rotasi lempeng mikro Sunda.

Miosen Atas – Recent :
Terjadi kembali rotasi ke dua sebesar 20 - 25 berlawanan arah jarum jam, selanjutnya mengakibatkan makin membukanya Laut Andaman. Sudut interaksi tumbukan lempeng Hindia-Australia dengan lempeng Eurasia sudah berubah dari 40 menjadi 60. Pada saat itulah mulai terjadi tegasan kompresi yang menyebabkan terjadinya pengangkatan bukit barisan, pengaktifan gunungapi serta terbentuknya sesar menyerong. Sebagai akibat adanya rotasi berkelanjutan, maka sesar-sesar lama yang berarah utara-selatan menjadi berarah baratlaut-tenggara sedangkan yang berarah timurlaut-baratdaya (umumnya sesar normal) menjadi berarah utara-selatan. Konsekuensi dari perubahan ini mengakibatkan sesar mendatar yang arahnya menjadi baratlaut-tenggara teraktifkan kembali sebagai sesar naik, sedangkan sesar normal berubah menjadi sesar mendatar dengan arah utara-selatan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar